Sabtu, 22 Oktober 2011

Allah, Tuhan, Gusti Pengeran, Atau Entah Bagaimana Sampeyan Menyebutnya??

Biyuh... biyuh.. biyuh.... kenapa kita mesti meributkan Tuhan. Bukankah Tuhan sudah Maha Sempurna jadi tidak perlu diributkan lagi. Justru yang pantas untuk diributkan adalah diri kita sendiri, manusia yang fana, yang penuh dengan keterbatasan, yang bisanya hanya ribut, ribut, dan ribut. Sudah tahu kalau dirinya penuh dengan kekurangan, ee.. malah merasa sok sempurna, sudah faham bahwa dirinya adalah mahluk lemah tapi tetap saja merasa terkuat dan berani menindas orang lain, sudah mengerti bahwa diri ini penuh dengan kekurangan, lha kok malah ga trima kalau dikalahkan sama orang lain, masih mending kalau ga mau kalah dalam hal yang positif, lha ini, soal urusan materi (kekayaan) saja sampai dituruti sikut-sikutan. Mboknya ya eling, ingat, siapa diri kita ini.

Biarkan saja, kalau Tuhan disebut dengan beragam nama. Lha, itu kan hanya pelafalan saja to. Dan hal itu sama sekali tidak berpengaruh akan ke-Tuhan-annya, Tuhan itu sendiri. Tidak mempengaruhi kredibilitas Tuhan karena memang Tuhan tidak memerlukan apapun, apalagi kredibilitas. Bukan Tuhan namanya kalau masih membutuhkan “sesuatu”, justru kita-lah yang membutuhkan Tuhan karena kita hambanya yang selalu bergantung pada-Nya, tidak bisa, tidak!.

Tuhan tidak terbatas hanya pada lafal (penamaan) saja karena Tuhan Maha Segala-galanya yang tidak dibatasi oleh apapun. Tuhan Maha Tinggi yang mustahil dapat dijangkau oleh indra manusia. Oleh karena itu ga perlu ribut lagi hanya karena perbedaan penyebutan nama. Nama (Tuhan) bagi manusia hanyalah berfungsi sebagai alat perantara manusia untuk berdialog dengan Tuhan. Apapun seseorang menyebut-Nya, asal hal itu bisa membuatnya “mesra” dengan Tuhan, dekat dengan-Nya, khusyuk dalam totalitas penyerahan kepada-Nya, ya sah-sah saja. Karena bagaimanapun dan apapun adanya, Tuhan tetaplah Tuhan. Titik.

Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Abdul Munir Mulkhan (2007),”Iman tidak sekedar percaya pada adanya Tuhan dengan segala sifat-Nya, tapi juga bukti empirik kesediaan menerima pengakuan orang lain atas Tuhan dengan cara mereka. Kesalehan tidak sekedar dilihat dari ritual formal, tapi juga dari kemanfaatan hidupnya bagi orang lain.”

Wallahu'alam bishawab...

Semar, ora linglung, semoga!

Di rumah saja, Griyo wage, Taman, Sidoarjo.

Sabtu, 22 Oktober 2011. 17.15 wib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar