Selasa, 26 Januari 2010

Pluntir

Namanya saja pluntir, ya sudah pasti kalau wujudnya berkelok-kelok kayak akar pohon yang terpilin atau terplintir dalam bahasa Jawa disebut sebagai pluntir. Inilah nama salah satu jajanan pasar yang sampai saat ini masih sering kita jumpai. Anehnya, meski bahan dan rasanya sama namun kalau bentuknya tidak terpilin atau dipluntir orangpun enggan untuk menyebutnya sebagai jajan pluntir. Karena di situlah letak seninya yang membuat kita semakin asyik menikmatinya.

Mungkin berasal dari jajanan itulah sehingga "pluntir" menjadi seperti budaya tersendiri sehingga menjadikan kebiasaan yang asyik bagi banyak orang. Liat saja di mana-mana orang pada suka untuk memilan dan memilin sebuah fakta, sebuah kenyataan diplintir ke kanan dan ke kiri agar bisa menjadi semakin asyik untuk dinikmati, tak peduli lagi apakah hal itu akan merugikan orang lain atau tidak, yang penting hepi.
Apalagi di era sekarang ini, apapun bisa mendatangkan uang yang penting bisa memuaskan bagi banyak orang. Otomatis budaya memutar balik fakta alias memelintir berita inipun akan mendatangkan uang asal sesuai dengan tema yang diharapkan oleh banyak orang.

Lah..dalah... namanya juga jajanan kalau udah kenyang ya pasti akan berhenti sendiri begitupun kabar berita yang telah di-"pluntar-pluntir" kesana-kemari lama-lama juga akan berhenti sendiri saat masyarakat sudah blenger dicekoki berita-berita itu terus.

Jadi buat kalian yang merasa dirugikan oleh beragam pemberitaan yang banyak di-"pluntar-pluntir" itu ya sabar saja toh mereka akan berhenti sendiri tanpa kalian minta. Biarkan saja, itung-itung ikut melestarikan jajanan tradisonal bangsa kita. hehehehe...

semar kepluntir
Surabaya, 26 Januari 2010

Senin, 25 Januari 2010

Semar Bermunajat

Mencari kesalahan orang lain memang jauh lebih mudah dibanding mencari kesalahan diri sendiri. Mulut terasa enteng banget saat dibuat menghujat dibanding saat dibuat bermunajat. Oalah Gusti...bagaimana to ini... hamba-Mu ini koq lebih seneng mikir pakai emosi dibanding pakai hati. Apa itu bertanda hamba ini telah bersekutu dengan pasukan iblis, Gusti?? Astaghfirulloh...

Bukankah hamba, Engkau kasih dua tangan dan dua kaki, bukankah itu berarti hamba harus lebih banyak berbuat dan bertindak untuk kemanusiaan bukan malah berbuat kemungkaran dan keonaran.

Bukankah hamba, telah Engkau karuniai dua mata... bukankah itu berarti hamba harus lebih banyak melihat nikmat-nikmat dan kebesaran-Mu sehingga hamba menjadi semakin yakin akan keberadaan-Mu juga menjadi hamba yang senantiasa bersyukur kepada-Mu tapi mengapa hamba malah sering bermaksiat kepada-Mu. Duh Gusti... Pertanda apakah ini???

Bukankah hamba juga Engkau anugerahi dua telinga dan satu mulut... bukankah itu bertanda bahwa seharusnya hamba lebih banyak mendengar dibanding berbicara sesuatu yang tak jelas jluntrungan-nya tapi kenapa hamba lebih banyak menghujat daripada mendengar ayat-ayat kebenaran-Mu.

Duh, Gusti... bagaimana to hamba ini... kalau begini apa masih pantas hamba untuk memohon kepada-Mu. apa masih layak hamba untuk menjadi umat-Mu. Duh Gusti, ampunilah segala dosa dan segala kesalahan hamba dan bimbinglah hamba, jiwa hamba agar senantiasa tunduk dan patuh pada kebenaran-Mu semata. Ya..Illahi Robbi hanya kepada-Mu hamba memohon.

semar, bermunajat
Surabaya, 26 Januari 2010

Minggu, 24 Januari 2010

Negeri Para Pencuri

Seperti malam-malam biasanya, malam inipun hujan turun, tidak deras memang tapi cukup untuk membuat tanaman di halaman rumah kami basah kuyup. Tak ada yang kami kerjakan selain nyemil dan menikmati acara televisi yang menyiarkan beragam berita mulai dari berita entertain, bencana banjir dan longsor sampai berita mengenai kasus korupsi di negeri tercinta kita ini, Indonesia. Entah, kesalahan apa yang sudah dilakukan oleh bangsa ini sampai para dewa mengutuk negeri ini menjadi negeri para koruptor, pencuri, maling.

Coba saja kita lihat trotoar yang berada di sepanjang jalan protokol di depan pusat-pusat perbelanjaan dan pertokoan, nyaris tak ada ruang sedikitpun untuk para pejalan kaki padahal trotoar dibangun khusus sebagai tempat para pejalan kaki supaya jalan tidak macet, lalu lintas lancar dan semua orang bisa sampai pada tempat tujuannya tepat waktu sesuai agendanya masing-masing. Tapi apa kenyataannya, semua telah disulap sebagai tempat parkir dan lucunya (katanya sih) justru tempat-tempat seperti itu (trotoar maksudnya) "diperjual belikan" oleh para aparat yang berwenang dengan memakai jasa para penguasa (preman) di area tersebut. Ironis bukan??

Padahal apa yang dilakukan tersebut adalah melanggar hak orang lain, yakni para pejalan kaki. Kenyamanan para pemakai jalan lainnyapun terampas oleh kegiatan parkir memarkir seperti ini. Tetapi anehnya, para pelaku ini tidak pernah merasa bersalah sedikitpun. Bahkan mereka malah bertindak seolah-olah trotoar tersebut adalah warisan dari mbah buyutnya jadi hanya dia yang berhak sedangkan orang lain harus permisi terlebih dahulu jika melewati tempat tersebut. Astaghfirulloh...

Contoh lain dari kejadian curi mencuri ini, diantaranya; kita begitu terbiasa kalau naik bis umum selalu mencari tempat duduk yang kosong, biasanya berisi dua kursi atau tiga kursi, dan kita biasanya memilih tempat duduk yang belum terisi penumpang sama sekali dengan harapan agar kita mendapat tempat yang longgar, tidak gerah sehingga selama perjalanan kita merasa nyaman. Dan ditenggah-tengah perjalanan kalaupun ada penumpang yang naik biasanya kita pura-pura tidak tahu sambil menggeser tempat duduk kita ke samping agar terlihat seolah-olah tempat yang kita duduki ini sudah penuh padahal sebenarnya masih kosong karena kita tidak mau berdesak-desakan.

Bukankah tindakan seperti itu juga melanggar hak orang lain. Lha, kita cuma membayar satu karcis kok itu kan berarti kita hanya memiliki hak untuk menempati satu kursi saja sementara kursi lainnya adalah hak penumpang lain sehingga hal-hal seperti tanpa kita sadari sebenarnya sudah masuk dalam kategori pencurian. Lha iyo to...

Apa memang mental kita seperti itu ya?! Ataukah itu terjadi hanya karena kekhilafan dan kelalaian kita saja. Kalau memang itu hanya merupakan bentuk dari kelalaian kita saja, ya syukur alhamdulillah berarti tinggal kita banyak istighfar, memohon ampunan Tuhan, sudah habis perkara. Tapi yang ditakutkan kalau hal itu terjadi dan kita lakukan dengan penuh kesadaran dan kesengajaan, wah ini bahaya berarti dalam diri kita memang ditumbuhi oleh mental maling (nau'udzubillah) berarti ini parah.

Tak ada bedanya kita dengan para koruptor-koruptor itu dong, pencuri uang rakyat itu. Yang membedakan hanya kesempatan yang kita miliki saja, seandainya kita memiliki kesempatan seperti yang dimiliki oleh para koruptor itu tentu kitapun akan melakukan hal yang sama karena ternyata e ternyata mental kita ini adalah mental maling. iyo ta, Cak..?!

Duh Gusti..mugi-mugi Panjenengan paringi kulo lan sederek kulo sedoyo anugerah iman lan Islam ingkang kuat supados kito saget ajeg nglampahi perintah Panjenengan ugo saget ninggalaken sedoyo larangan Panjenengan. Amin Allohumma amin...

Semar, nggrayangi jithoke dewe

Selasa, 19 Januari 2010

Mbah Kyai Semar

Malam semakin larut. Hening, hanya suara gemericik hujan yang masih terdengar, sesekali bunyi nyanyian jangkrik ikut menemani Mbah Kyai Semar (begitu biasa orang kampung menyebutnya). Entah apa yang dilakukan oleh Mbah Kyai Semar, hampir setiap malam beliau selalu duduk termenung disamping teras rumahnya, diam tak bersuara hanya terkadang nampak asap tembakau yang mengepul dari celah bibirnya yang doweh.

Pernah suatu saat, Kang Darno memberanikan diri bertanya pada diri Mbah Kyai Semar mengenai kebiasaannya merenung, menyendiri ditengah malam itu. Namun, Mbah Kyai semar hanya menjawab,"opo to, Dar.. kalau malem itu sumuk, hawane panas dadi ngisis di luar rasane bikin marem". Hanya itu jawaban Mbah Kyai Semar, namun Kang Darno, Kang Jais maupun Kang Sholeh masih belum percaya karena pernah suatu malam saat musim bedinding (dingin), mereka ini melihat Mbah Kyai Semar sedang menghisap rokok tembakaunya sambil ote-ote alias tidak pake baju hanya celana komprang hitam saja.